Siswa SMA Lumajang Ubah Air Laut Menjadi Air Tawar.
TEMPO.CO , Lumajang - Siswi SMA Negeri 3 Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, menciptakan teknologi tepat guna mengubah air laut menjadi air tawar yang layak dikonsumsi. "Alatnya bisa dibuat dengan mudah dan biaya murah, tidak lebih dari Rp 200 ribu,” kata Arif Pribadi, guru kimia yang menjadi pembina kegiatan ekstrakurikuler penelitian terapan SMA 3, kepada Tempo, Sabtu, 11 Februari 2012.
Menurut Arif penciptaan alat tersebut sebagai solusi murah mengatasi kebutuhan air bersih yang layak dikonsumsi, terutama bagi warga pesisir pantai. Apalagi peralatannya cukup sederhana dan bisa dibuat oleh siapa saja.
Sejumlah peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk merancang alat yang disebut sebagai Penukar Ion itu di antaranya drum plastik dengan kapasitas 100 liter. Pada bagian bawahnya dipasang kran untuk mengeluarkan air. Dibutuhkan juga niru atau tampah untuk pembatas setiap lapisan.
Adapun bahan-bahan yang diperlukan, seperti pasir, karbon atau arang, kerikil, ijuk serta batuan mineral clay jenis piropylite atau zeonit. Batuan ini gampang ditemukan di pegunungan kapur.
Para siswa SMA 3 memperoleh batuan jenis ini dari daerah Turen, Malang. Batuan ini biasa digunakan untuk campuran pembuatan keramik.
Teknologi mengubah air laut menjadi air tawar mirip dengan teknologi penjernihan air. Menggunakan metode penyaringan atau filtrasi. Yang membedakan hanyalah pada formula batuan. Untuk mengubah air laut menjadi air tawar, batu piropylite atau zeonit harus direndam terlebih dahulu dalam cairan Natrium Hydroksida (NAOH2) selama waktu tertentu untuk kemudian dijemur hingga kering.
Batuan piropylite kemudian dihancurkan menjadi tiga ukuran yang berbeda, mulai dari yang halus, agak kasar, dan kasar. Semua bahan kemudian dimasukkan ke dalam drum plastik secara terpisah dan berlapis.
Lapisan paling bawah adalah batuan zeonit yang ditumbuk halus. Kemudian berturut-turut di atasnya batuan yang agak kasar, kemudian batuan yang kasar. Setiap lapisan dipisahkan oleh tampah yang terbuat dari anyaman bambu yang bagian tepinya dihilangkan.
Lapisan di atas batuan adalah ijuk. Di bagian atasnya berturut-turut kerikil, karbon, atau arang hingga lapisan paling atas yakni pasir.
Menurut Arif, formula yang sementara ini diterapkan adalah untuk kapasitas 100 liter. Sedangkan untuk bahannya masing-masing 10 kilogram. Sedangkan natrium Hidroksida untuk merendam batuan ini diperlukan lebih kurang 10 gram. "Air laut mengandung garam yang merupakan ion negatif. Dalam prosesnya nanti ion negatif ditukar dengan ion negatif dari batuan yang sudah direndam dalam larutan NAOH2.”
Teknologi ini, kata Arif, jauh lebih murah dibandingkan dengan alat sekelas Reverse Osmosis (RO) yang harus melalui tahap penyulingan. Harganya pun sangat mahal.
Arif mengakui tahapan percobaan dilakukan berulang kali sebelum ditemukan formula yang pas, sehingga kadar garamnya bisa nol persen.
Penelitian serta percobaan yang dilakukan siswa SMA 3 memperoleh penghargaan sebagai juara kedua dalam kontes teknologi tepat guna di Universitas Kristen Petra Surabaya akhir tahun 2011. Kontes diikuti pelajar dari seluruh daerah di Jawa Timur.
Sebelumnya tim ini memperoleh juara pertama di Universitas Brawijaya Malang. Arief serta dua orang siswanya, Serius Milyani Dwi Putri dan Mochamad Irsadi Firdaus, menerima penghargaan berupa uang pembinaan. Arif berharap penelitian ini bisa dilanjutkan secara lebih mendalam di tingkat universitas.
Menurut Arif penciptaan alat tersebut sebagai solusi murah mengatasi kebutuhan air bersih yang layak dikonsumsi, terutama bagi warga pesisir pantai. Apalagi peralatannya cukup sederhana dan bisa dibuat oleh siapa saja.
Sejumlah peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk merancang alat yang disebut sebagai Penukar Ion itu di antaranya drum plastik dengan kapasitas 100 liter. Pada bagian bawahnya dipasang kran untuk mengeluarkan air. Dibutuhkan juga niru atau tampah untuk pembatas setiap lapisan.
Adapun bahan-bahan yang diperlukan, seperti pasir, karbon atau arang, kerikil, ijuk serta batuan mineral clay jenis piropylite atau zeonit. Batuan ini gampang ditemukan di pegunungan kapur.
Para siswa SMA 3 memperoleh batuan jenis ini dari daerah Turen, Malang. Batuan ini biasa digunakan untuk campuran pembuatan keramik.
Teknologi mengubah air laut menjadi air tawar mirip dengan teknologi penjernihan air. Menggunakan metode penyaringan atau filtrasi. Yang membedakan hanyalah pada formula batuan. Untuk mengubah air laut menjadi air tawar, batu piropylite atau zeonit harus direndam terlebih dahulu dalam cairan Natrium Hydroksida (NAOH2) selama waktu tertentu untuk kemudian dijemur hingga kering.
Batuan piropylite kemudian dihancurkan menjadi tiga ukuran yang berbeda, mulai dari yang halus, agak kasar, dan kasar. Semua bahan kemudian dimasukkan ke dalam drum plastik secara terpisah dan berlapis.
Lapisan paling bawah adalah batuan zeonit yang ditumbuk halus. Kemudian berturut-turut di atasnya batuan yang agak kasar, kemudian batuan yang kasar. Setiap lapisan dipisahkan oleh tampah yang terbuat dari anyaman bambu yang bagian tepinya dihilangkan.
Lapisan di atas batuan adalah ijuk. Di bagian atasnya berturut-turut kerikil, karbon, atau arang hingga lapisan paling atas yakni pasir.
Menurut Arif, formula yang sementara ini diterapkan adalah untuk kapasitas 100 liter. Sedangkan untuk bahannya masing-masing 10 kilogram. Sedangkan natrium Hidroksida untuk merendam batuan ini diperlukan lebih kurang 10 gram. "Air laut mengandung garam yang merupakan ion negatif. Dalam prosesnya nanti ion negatif ditukar dengan ion negatif dari batuan yang sudah direndam dalam larutan NAOH2.”
Teknologi ini, kata Arif, jauh lebih murah dibandingkan dengan alat sekelas Reverse Osmosis (RO) yang harus melalui tahap penyulingan. Harganya pun sangat mahal.
Arif mengakui tahapan percobaan dilakukan berulang kali sebelum ditemukan formula yang pas, sehingga kadar garamnya bisa nol persen.
Penelitian serta percobaan yang dilakukan siswa SMA 3 memperoleh penghargaan sebagai juara kedua dalam kontes teknologi tepat guna di Universitas Kristen Petra Surabaya akhir tahun 2011. Kontes diikuti pelajar dari seluruh daerah di Jawa Timur.
Sebelumnya tim ini memperoleh juara pertama di Universitas Brawijaya Malang. Arief serta dua orang siswanya, Serius Milyani Dwi Putri dan Mochamad Irsadi Firdaus, menerima penghargaan berupa uang pembinaan. Arif berharap penelitian ini bisa dilanjutkan secara lebih mendalam di tingkat universitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar