Pembatasan BBM Dianggap Bisa Katrol Harga
TEMPO.CO, Surakarta – Pengamat perminyakan Kurtubi mempertanyakan rencana pemerintah untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dengan cara pembatasan. Sebab, cara itu tidak jauh beda dengan menaikkan harga secara terselubung karena masyarakat dipaksa menggunakan BBM nonsubsidi yang harganya lebih mahal.
Selain itu, dia menilai pembatasan BBM bersubsidi hanyalah solusi sementara. Sebab, saat ini posisi Indonesia sudah sebagai negara pengimpor minyak sehingga kebijakannya tidak pas. Selain itu, pemerintah sendiri sudah mencanangkan untuk mengurangi pemakaian minyak untuk energi dari 52 persen menjadi 20 persen pada 2025.
Untuk jangka panjang, langkah terbaik adalah melakukan konversi dari minyak ke gas. “Sebelumnya, kita sudah berhasil melakukan konversi dari minyak tanah ke elpiji sehingga seharusnya bisa juga dilakukan untuk BBM,” terangnya kepada wartawan seusai seminar nasional "Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi" di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, Selasa, 26 Juli 2011.
Saat ini, lanjutnya, sudah 60 negara yang menggunakan gas untuk sektor transportasi. Misalnya Pakistan (2,3 juta kendaraan), Iran (1,6 juta), India (935 ribu), dan Cina (450 ribu). Sedangkan di Indonesia baru 2 ribu kendaraan yang hanya didukung 3 stasiun pengisian bahan bakar gas. “Cadangan gas kita 6 kali lipat lebih banyak dari minyak bumi. Ini seharusnya dimanfaatkan,” tegasnya.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Lucky Alfirman dalam kesempatan yang sama menerangkan bahwa hingga Juni 2011, realisasi konsumsi BBM subsidi sudah mencapai 49,3 persen atau sekitar 19,97 juta kiloliter. “Meningkat 7,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu,” ucapnya.
Menurutnya, perlu ada pembatasan atau kenaikan harga BBM untuk menjaga ketahanan fiskal. Jika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM sebesar Rp 500 per liter, maka diperkirakan bisa menghemat anggaran subsidi BBM antara Rp 4-4,5 triliun. “Dampaknya inflasi akan bertambah antara 0,4-0,6 persen,” ujarnya.
Sedangkan jika opsi pembatasan yang diambil, maka penghematannya sebesar Rp 4-5 triliun dengan dampak penambahan inflasi antara 0,2-0,4 persen.
Selain itu, dia menilai pembatasan BBM bersubsidi hanyalah solusi sementara. Sebab, saat ini posisi Indonesia sudah sebagai negara pengimpor minyak sehingga kebijakannya tidak pas. Selain itu, pemerintah sendiri sudah mencanangkan untuk mengurangi pemakaian minyak untuk energi dari 52 persen menjadi 20 persen pada 2025.
Untuk jangka panjang, langkah terbaik adalah melakukan konversi dari minyak ke gas. “Sebelumnya, kita sudah berhasil melakukan konversi dari minyak tanah ke elpiji sehingga seharusnya bisa juga dilakukan untuk BBM,” terangnya kepada wartawan seusai seminar nasional "Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi" di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, Selasa, 26 Juli 2011.
Saat ini, lanjutnya, sudah 60 negara yang menggunakan gas untuk sektor transportasi. Misalnya Pakistan (2,3 juta kendaraan), Iran (1,6 juta), India (935 ribu), dan Cina (450 ribu). Sedangkan di Indonesia baru 2 ribu kendaraan yang hanya didukung 3 stasiun pengisian bahan bakar gas. “Cadangan gas kita 6 kali lipat lebih banyak dari minyak bumi. Ini seharusnya dimanfaatkan,” tegasnya.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Lucky Alfirman dalam kesempatan yang sama menerangkan bahwa hingga Juni 2011, realisasi konsumsi BBM subsidi sudah mencapai 49,3 persen atau sekitar 19,97 juta kiloliter. “Meningkat 7,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu,” ucapnya.
Menurutnya, perlu ada pembatasan atau kenaikan harga BBM untuk menjaga ketahanan fiskal. Jika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM sebesar Rp 500 per liter, maka diperkirakan bisa menghemat anggaran subsidi BBM antara Rp 4-4,5 triliun. “Dampaknya inflasi akan bertambah antara 0,4-0,6 persen,” ujarnya.
Sedangkan jika opsi pembatasan yang diambil, maka penghematannya sebesar Rp 4-5 triliun dengan dampak penambahan inflasi antara 0,2-0,4 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar