Protein Tinggi Tekan Rasa Lapar.
TEMPO.CO, Jakarta - Obesitas atau kelebihan berat badan merupakan masalah besar warga dunia, baik di negara maju maupun berkembang. Ada banyak faktor yang dapat menambah berat badan dan komposisi lemak tubuh sehingga menyebabkan obesitas. “Faktor yang mempengaruhi, antara lain genetik, metabolik, psikososial, perilaku, kultur, dan lingkungan,” ujar Fiastuti Witjaksono, dokter spesialis gizi klinik Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Senin dua pekan lalu.
Mengutip data Riset Kesehatan Dasar 2008, penduduk Indonesia yang mengalami obesitas di atas usia 15 tahun lebih banyak dari kalangan perempuan. “Hampir 10 persen lebih tinggi dibandingkan pria,” ujar Fiastuti dalam promosi doktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, siang itu.
Menurut Fiastuti, perempuan dewasa obesitas yang menjalani diet, kemudian berhasil menurunkan berat badannya, sebagian besar akan mengalami kenaikan berat badan kembali. Salah satu penyebabnya, mereka kembali menerapkan pola makan lama karena tak kuat menahan lapar. Padahal salah satu penyebab keberhasilan diet adalah menjaga keseimbangan energi yang masuk.
Dalam disertasinya, Fiastuti mengemukakan bahwa asupan protein tingkat tinggi pada diet yang dilakukan perempuan dengan obesitas dapat menurunkan rasa lapar. Hal itu terjadi karena protein memiliki efek termik (jumlah energi yang digunakan tubuh untuk mencerna makanan) lebih besar dibanding karbohidrat dan lemak. Akibatnya, protein tak dapat disimpan dalam tubuh sehingga perlu dicerna secara lebih cepat.
Rasa lapar dan kenyang juga bergantung pada hormon yang dihasilkan saluran pencernaan. Salah satunya adalah gut hormone yang bersifat oreksigenik (menimbulkan rasa lapar) dan anoreksigenik (yang menekan rasa lapar). Kesimpulan sementara yang didapat Fiastuti dalam penelitian doktoralnya adalah konsumsi protein tingkat tinggi pada perempuan yang sedang melakukan diet dapat menurunkan gut hormone oreksigenik dan meningkatkan gut hormone anoreksigenik. “Sehingga terdapat penekanan rasa lapar dan peningkatan rasa kenyang," katanya.
Menurut Fiastuti, komposisi protein yang efektif menekan rasa lapar pada perempuan yang mengalami kegemukan adalah 40,6 persen dari jumlah total 60 gram asupan energi yang dibutuhkan perempuan. Pemenuhan 25 persen protein bisa didapat dari makanan dasar. Namun, untuk diet tinggi protein, pemenuhan komposisi 40,6 persen agak sulit dilakukan kecuali dengan nutrisi tambahan, salah satunya kasein (protein susu). "Bahkan, bila kita memakan putih telur yang paling banyak mengandung protein pun, pemenuhan 40 persen komposisi protein tidak bisa tercapai," ujarnya.
Fiastuti mengakui masih ada pro-kontra mengenai efek makanan protein tinggi terhadap fungsi ginjal. Ada yang menyebutkan, pada perempuan dengan gangguan fungsi ginjal ringan, konsumsi protein tinggi dapat menurunkan fungsi ginjal, terutama konsumsi protein tinggi hewani non-susu. Sedangkan konsumsi protein susu dan protein nabati tidak mempengaruhi kerja ginjal sama sekali.
“Namun pendapat itu masih belum jelas dan belum bisa dibuktikan," kata Fiastuti. "Sebab, pada populasi orang dengan penyakit ginjal, konsumsi protein sesuai dengan rekomendasi diet yang diizinkan malah memperlambat progresivitas penyakitnya."
Selain tak sedap dipandang, obesitas layak diperangi karena berpotensi memicu munculnya sejumlah penyakit. Salah satunya adalah diabetes. Ancaman penyakit ini makin besar pada mereka yang mengalami obesitas, yang salah satu penandanya adalah bertumpuknya lemak di perut (lemak viskeral).
Hasil penelitian yang melibatkan lebih dari 700 orang dewasa dan diungkapkan dalam jurnal Annals of Neurology, Mei 2010, menyatakan, semakin berat volume lemak viskeral, risiko untuk terkena diabetes tipe 2 akan semakin besar. Karena itu, dalam kesempatan berbeda, kepada Tempo, Dante Saksono Harbuwono, dokter spesialis endokrinologi FKUI-RSCM, mengingatkan, "Orang dengan perut buncit harus ekstra-waspada karena lebih rentan terkena diabetes." Walhasil, diet untuk mengatasi obesitas, termasuk diet tinggi protein, layak dipraktekkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar