Kamis, 07 Juni 2012
Penelitian: Masyarakat Tak Percaya Polisi.
Peneliti dari The University of Newcastle, Australia, Pamela Nilan,
memaparkan hasil penelitiannya tentang kekerasan dan konflik di ranah
publik yang terjadi di Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan
dalam kurun waktu 2009-2011, dia mencatat bahwa saat ini masyarakat
Indonesia sudah tidak percaya kepada aparat kepolisian untuk
penyelesaian konflik.
“Sebab terkadang polisi malah memprovokasi
dan membiarkan kekerasan itu tetap terjadi,” kata dia kepada wartawan di
sela konferensi internasional tentang komunikasi, media, dan kekerasan
di ranah sipil di Surakarta, Rabu, 6 Juni 2012.
Penelitian yang
dibiayai AUSAID tersebut melibatkan seribu responden yang berada di
Surakarta, Jakarta, Pekanbaru, Mataram, dan Makassar. Inti pertanyaan
yang diajukan kepada responden adalah bagaimana persepsi mereka tentang
kekerasan yang melibatkan masyarakat sipil dan bagaimana solusinya.
Dari
hasil penelitian diketahui bahwa kekerasan di masyarakat
dilatarbelakangi oleh kondisi emosi yang tidak stabil dan tidak
terkontrol. “Contohnya seperti banyaknya tawuran yang terjadi di
berbagai kota,” kata dia lagi. Kemudian sesuatu hal yang sebenarnya
sepele tiba-tiba membesar dan menjadi tawuran massal.
Kemudian
untuk penyelesaian konflik, karena masyarakat tidak percaya lagi pada
aparat penegak hukum, dia menyarankan penyelesaian dengan mediasi.
“Seperti musyawarah secara kekeluargaan,” ujarnya. Sebagai penengah bisa
tokoh masyarakat, tokoh agama, atau pemimpin di wilayah tersebut
seperti kepala desa atau lurah.
Sedangkan peneliti dari
Universiti Sains Malaysia Nik Norma Nik Hasan mengatakan di Malaysia
kekerasan yang melibatkan masyarakat sipil biasanya diawali oleh hal-hal
yang berkaitan dengan etnis. “Di Malaysia terdiri dari banyak etnis
seperti Cina, Melayu, Sabah, dan Sarawak,” katanya dalam kesempatan yang
sama.
Misalnya di suatu perkampungan etnis Cina, ada sebuah
masjid yang mengumandangkan azan 5 kali dalam sehari. Hal itu bisa
memicu keributan di perkampungan tersebut.
Dosen komunikasi
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Andrik Purwasito, mengatakan
kekerasan yang terjadi saat ini salah satunya karena andil media massa,
khususnya televisi. Televisi berlomba-lomba menayangkan aksi-aksi
kekerasan dan seolah-olah menjadi semacam hiburan tersendiri untuk
masyarakat.
“Padahal aksi kekerasan yang ditayangkan tersebut
bisa memicu kekerasan baru di masyarakat,” ucapnya. Untuk itu, dia
meminta ada standardisasi tayangan kekerasan di televisi agar dapat
menampilkan gambar yang lebih arif.
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/06/063408767/Penelitian-Masyarakat-Tak-Percaya-Polisi
Musik Sesame Street Jadi Alat Siksaan ?
Musik dari
acara anak-anak ternama di Amerika Serikat (AS), Sesame Street, kabarnya
dijadikan alat untuk menyiksa tahanan terorisme di Teluk Guantanamo.
Kementerian
Pertahanan AS yang bermarkas di Gedung Pentagon menyangkal penggunaan
lagu tema Sesame Street untuk menyiksa tahanan, selama 10 tahun
terakhir.Namun sebelumnya, pernah ada pernyataan dari aparat AS
bahwa memutarkan musik bisa digunakan untuk mempengaruhi tingkah laku
tahanan di kamp kontroversial itu.
Dokumenter dari media Al Jazeera menyatakan, pada 2003, tahanan diikat di kursi dan kepalanya dipasangi headphone.Kemudian sejumlah lagu diputarkan selama berjam-jam atau bahkan seharian. Salah satunya, lagu tema Sesame Street.
Jubir Pentagon Kapten John Kirby menyatakan tak tahu menahu mengenai daftar lagu, namun memahami bahwa ada satu waktu saat penggunaan musik diizinkan.
http://web.inilah.com/read/detail/1867333/musik-sesame-street-jadi-alat-siksaan
Dokumenter dari media Al Jazeera menyatakan, pada 2003, tahanan diikat di kursi dan kepalanya dipasangi headphone.Kemudian sejumlah lagu diputarkan selama berjam-jam atau bahkan seharian. Salah satunya, lagu tema Sesame Street.
Jubir Pentagon Kapten John Kirby menyatakan tak tahu menahu mengenai daftar lagu, namun memahami bahwa ada satu waktu saat penggunaan musik diizinkan.
Sesame Street pun Harus Pergi dari Arab.
Misi Amerika Serikat (AS) di Pakistan menggunakan boneka
Sesame Street, gagal total. Elmo, Big Bird, Ernie, dan kawan-kawan
terpaksa dipulangkan.
AS menarik pendanaan untuk serial
televisi ternama Sesame Street versi Pakistan. Hal ini disebabkan
laporan korupsi yang diterima oleh penyokong keberadaan Sesame Street di
negara itu, USAIDS.
“Kami menerima laporan dugaan korupsi oleh
rumah produksi Rafi Peer Theatre Workshop,” ujar Jubir Kementerian Luar
Negeri AS Mark Toner, tanpa menjelaskan lebih terperinci.
Acara
ini baru mulai siaran enam bulan lalu, yang diantaranya menayangkan Elmo
bersama tokoh-tokoh lokal. Pendanaan dialirkan enam pekan setelah Dubes
AS Cameron Munter berkunjung ke lokasi syuting Sim Sim Hamara, nama
Pakistannya.
Awalnya, AS mengalokasikan US$20 juta untuk
memproduksi acara tersebut. Sejauh ini, menurut laporan USAIDS, baru
US$6,7 juta yang terpakai. Tapi laporan dari suratkabar Pakistan Today, uang itu digunakan Rafi Peer untuk melunasi utangnya.
Perusahaan
yang bermarkas di Lahore itu menyangkal tudingan itu. COO Rafi Peer dan
satu-satunya anggota keluarga yang masih menjalankan perusahaan,
Faizaan Peerzada menyatakan, AS berhenti mendanai setelah US$10 juta
karena kekurangan uang.
“Kami gembira bisa bekerjasama untuk
proyek ini dan memperbaiki kualitas edukasi untuk anak-anak melalui
televisi yang dibuat secara domestik,” demikian Peerzada. Ia dikabarkan
hendak mencari pendana baru untuk meneruskan Sim Sim Hamara.
Misi
utama Sesame Street versi Pakistan ini untuk mempromosikan toleransi
antar etnis dan kesamaan gender. Sebanyak 26 episode sudah digarap,
meski jumlah itu baru sepertiga dari permintaan awal.
Ini kedua
kalinya Sesame Street versi asing alami masalah. Sebelumnya, Kongres
(DPR AS) terpaksa membatalkan pendanaan Sesame Street versi Palestina
yang disebut Sharaa Sim Sim dalam bahasa Arab.
Pembatalan ini
terkait pemotongan dana sebesar US$200 juta untuk bantuan Palestina,
setelah negara itu mengajukan keanggotaan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). AS menentang keinginan ini, karena belum mengakui kedaulatan
Palestina.
Baru-baru ini, Sesame Street juga menjadi berita saat dokumenter dari media Al Jazeera menunjukkan, satu dekade lalu lagu tema serial tersebut digunakan sebagai alat penyiksa tahanan di penjara Teluk Guantanamo.
Tahanan dipaksa mendengarkan sejumlah lagu melalui headphone
selama berjam-jam, dengan volume yang keras. Salah satu diantara musik
yang diputar berulang-ulang adalah lagu tema Sesame Street.
Tak
bisa disangkal, acara dan merchandise Sesame Street menjadi sebuah brand
yang telah mendunia. Sebanyak 145 negara menayangkannya, termasuk
negara yang sedang bermasalah seperti Afghanistan dan Sudan.
http://web.inilah.com/read/detail/1869209/sesame-street-pun-harus-pergi-dari-arab
Langganan:
Postingan (Atom)