Senin, 04 Juni 2012

Sistem Syariah, Solusi Problem Perburuhan.

Sistem Syariah, Solusi Problem Perburuhan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Santi Sopia*

Dari tahun ke tahun, sejarah mencatat setiap tanggal 1 Mei terjadi pergolakan tuntutan-tuntutan di pelbagai belahan dunia dari kaum yang bernama buruh.  Awal tanggal itu diperingati sebagai hari buruh Internasional yang dikenal dengan istilah May Day.

Aksi besar-besaran digencarkan pada awal tanggal itu menjadi ritual tahunan sejak tahun 1980 yang seolah tak akan pernah sirna kecuali hingga bumi ini menjemput ajalnya. Awal tanggal yang seakan menjadi momok bagi pihak lain yang dirugikan, seperti pedagang, supir angkutan umum, atau supir kendaraan lain yang urusannya tersendat akibat blokade jalan.

Akan tetapi, dibalik awal tanggal itu, para buruh sebetulnya sudah lelah guna memperjuangkan nasib. Para buruh sudah lelah menyuarakan aspirasi dan tuntutan-tuntutannya. 

Tuntutan utama para buruh tahun ini ada tiga, hidup dengan upah yang sejahtera, penghapusan sistem kerja kontrak dan penghentian sistem pemborongan kerja (Kompas, 1/5). Disamping itu para buruh juga menuntut peningkatan jaminan sosial (Republika,1/5). Tuntutan-tuntutan yang sebetulnya tidak beda jauh dengan tuntutan berpuluh tahun sebelumnya saat pertama kali peringatan May Day tercetus.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar permasalahan perburuhan termasuk di Indonesia ialah akibat penerapan ideologi kapitalisme dengan doktrinnya tentang peran negara, kebebasan bekerja dan penentuan upah. Saat ini sudah sangat jelas tampak didepan mata bagaimana bobroknya sistem kapitalisme. Kapitalisme babak II sedang menggerogoti bangsa buruh.

Ideologi kapitalisme menetapkan agar peran dan campur tangan negara dalam mengatur urusan masyarakat harus seminimal mungkin. Kapitalisme mengajarkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok individu masyarakat baik sandang, pangan, papan menjadi  tanggung jawab individu itu sendiri. Begitu pula pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Sementara problem yang langsung terkait dengan buruh muncul akibat digunakannya kebutuhan minimum (UMR.UMK) sebagai standar penetapan gaji. Mereka hanya mendapatkan sesuatu yang cukup sekadar untuk mempertahankan hidup. Karena itu, terjadilah ketidak adilan dan eksploitasi para kapitalis terhadap kaum buruh.

Kronologi manipulasinya, setelah itu kemudian muncul gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya. Kaum kapitalis akhirnya terpaksa memasukan sejumlah revsisi kedalam konsepnya. Namun karena negara tidak boleh atau harus seminimal mungkin mengurusi urusan rakyat maka berbagai hal yang menjadi tuntutan itu pun dikaitkan dengan kontrak kerja.

Kontrak kerja akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan aturan yang diklaim melindungi kaum buruh dan memberikan hak mereka yang sebelumnya tidak didapatkan. Seperti kebebasan berkumpul dan berserikat, hak mogok, pemberian pensiun, peningkatan gaji, libur, cuti dan sebagainya.

Apabila dikategorikan, perkara buruh sebetulnya ada dua jenis. Pertama, masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kehidupan yang layak. Kedua, masalah yang berhubungan dengan kontrak kerja. Antara pengusaha dan pekerja, seperti masalah Putusan Hubungan Kerja (PHK), penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagianya.
Jika dikerucutkan, persoalan ini sebetulnya bukanlah tanggung jawab perusahaan, melainkan kebijakan yang turut ditandatangani pihak negara. Legalitas yang seringkali berpihak pada kapitalis dan komporador asing.

Masalah jenis pertama, sistem syariah Islam membebankan penyelesainnya langsung pada negara. Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu(sandang,pangan, papan) dan pemenuhan kebutuhan pokok umat (pendidikan, kesehatan, keamanan) secara layak.

Pemenuhan kebutuhan pokok individu dapat dilakukan negara melalui mekanisme tak langsung dengan sejumlah langkah. Seperti menyediakan lapangan kerja dan pemerintah tidak menutup mata atas membludaknya pengangguran yang selalu meningkat tentunya.
Negara bisa secara langsung membuat proyek-proyek pembangunan yang bisa menyerap tenaga kerja serta manciptakan iklim usaha yang kondusif. Contohnya Islam mengharuskan birokrasi menggunakan prinsip sederhana, mudah dan tidak berbelit. Segala pungutan ilegal harus dibabat habis. Dengan penerapan hukum syariah terkait pengelolaan kekayaan diantaranya hukum tentang harta milik umum, maka negara akan memiliki dana yang lebih dari cukup untuk melakukan hal ini.

Sedang masalah jenis kedua, dalam kontrak kerja, haruslah jelas besaran upah gaji sesuai manfaat yang diberikan pekerja pada perusahaan itu. Bukan upah standar minimum. Kemudian, setelah kontrak terjalin, pekerja tidak boleh mangkir, begitu juga soal putusan hubungan kerja, haruslah disetujui kedua belah pihak. Bila tidak, salah satu pihak bisa menuntut ke pengadilan.

Dengan pemerintah mengatur serta memperbaiki segala urusan kebijakan terkait kepentingan buruh, maka perusahaan pun dapat mengembangkan usahanya tanpa terbebani atau memikirkan persoalan kebutuhan pokok buruh. Problem perburuhan akan terus ada selama sistem ekonomi menekankan pada pertumbuhan  yang hanya menguntungkan investor (kapitalis) dan selama masalah tersebut masih diatur dengan kapitalisme.

Apabila berkaca pada sistem ekonomi zaman Rasulullah, khalifah Umar bin Khatab pernah berkata, “Aku tidak akan makan sebelum rakyatku kenyang.” Apakah masih ada diantara pemimpin kita yang seperti itu? Kita harus yakin masih ada! Semoga! 


*Penulis: Mahasiswa Semester IV Ilmu Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/05/31/m4vl59-sistem-syariah-solusi-problem-perburuhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar